Dan barangsiapa mengerjakan kebajikan dan ia dalam keadaan beriman, Maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya.
( QS:Taha 112)
( QS:Taha 112)
Setiap pertaruhan pasti ada harga yang harus dibayar, begitupun halnya dengan mempertaruhkan kebajikan ditengah derasnya kedzaliman yang merasuk di setiap sendi kehidupan. Tabiat kedzaliman adalah selalu menorehkan luka pada setiap tempat kedzaliman tersebut menghinggapi, cepat atau lambat, halus atau masif luka tersebut akan terasa. Luka tersebut akan merusak tatanan kehidupan yang harmonis karena kedzaliman menukarkan nilai-nilai kebaikan dengan virus-virus kerusakan. Ketika sebagian kecil manusia memilih bertahan untuk memperjuangkan nilai-nilai luhur kebaikan demi menjaga kelestarian kehidupan maka mereka akan merasakan goresan luka-luka tersebut pada dirinya sendiri . Perihnya sayatan luka berupa tergadainya hak dan berbagai perlakuan tidak adil adalah hidangan yang harus mereka santap bahkan disaat lapar sekalipun.
Rasulullah dan para sahabat merasakan begitu hebatnya tekanan para kaum musyikin Quraiys ketika mereka mengembargo kaum muslimin, mereka tak hanya memutus jalur logistik tapi lebih dari itu mereka mengisolasi dan membuat kaum muslimin menjadi orang asing di negeri mereka sendiri. Hak kaum muslimin untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup mereka terputus. Ruang gerak mereka dipersempit, peran mereka dibatasi sebatas kaum muslimin. Kompromi yang ditawarkan kaum Quraisy adalah meminta Rasulullah menghentikan aktifitas dakwahnya sebagai syarat mereka menghentikan embargo. Pada saat itu penderitaan Rasulullah ditambah dengan meninggalnya isteri tercinta Khadijah r.a. dan pamannya Abu Thalib yang selama ini mendukung dakwah beliau.
Lalu apakah yang bisa membuat Rasulullah dan para sahabat bertahan dari situasi sulit tersebut. Keimananlah yang menjadi perisai sekaligus senjata kaum muslimin untuk bertahan untuk menang. Keimanan melahirkan energi kesabaran luar biasa yang tak pernah kering dibawah teriknya tekanan embargo. Keimanan menolak kompromi kafir Quraisy untuk berbagi keyakinan, sehari mengakui kesesatan mereka sehari kemudian mengikuti keyakinan kita bukan bentuk toleransi yang Islam diajarkan. Tidak ada kesepakatan atas tawar-menawar keimanan, karena keimanan adalah keyakinan setiap individu yang harus dihormati dan merupakan hak asasi manusia. Tidak ada kompromi atas legalisasi kedzaliman, karena legalitas kedzaliman tidak akan pernah membawa kebaikan dan justru yang akan mencabut hak asasi sampai pada akar-akarnya. Al halalul bayyin wal haramu bayyin, antara kebenaran dan kedzaliman ada demarkasi yang jelas bahkan ketika ada sesuatu keraguan (syubhat) yang tampak berada di garis perbatasan kita dianjurkan untuk meninggalkannya. Tugas mulia menebarkan kebajikan, menyemai benih-benih kemanfaatan, mengawal perubahan di berbagai bidang kehidupan pijakannya adalah keimanan. Kebaikan yang dilakukan dengan keimanan akan menjadikan setiap intimidasi kedzaliman menjadi sumbu pembakar semangat perjuangan yang akan semakin memperkokoh bangunan kebaikan yang dipancangkan. Keimanan akan menjauhkan para penyeru kebaikan dari sikap kekhawatiran terhadap ancaman yang mengintainya. Tidak ada sesuatupun yang mereka takutkan selain Tuhannya. Kebaikan yang dilakukan dengan mudah tanpa tantangan yang merongrong seringkali membuat lengah dan kehilangan daya kreatifitasnya. Sementara kebaikan yang penuh intimidasi akan memperkuat eksistensi kebaikan tersebut mengahadapi terpaan ujian yang lebih besar lagi.
Rasulullah dan para sahabat merasakan begitu hebatnya tekanan para kaum musyikin Quraiys ketika mereka mengembargo kaum muslimin, mereka tak hanya memutus jalur logistik tapi lebih dari itu mereka mengisolasi dan membuat kaum muslimin menjadi orang asing di negeri mereka sendiri. Hak kaum muslimin untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup mereka terputus. Ruang gerak mereka dipersempit, peran mereka dibatasi sebatas kaum muslimin. Kompromi yang ditawarkan kaum Quraisy adalah meminta Rasulullah menghentikan aktifitas dakwahnya sebagai syarat mereka menghentikan embargo. Pada saat itu penderitaan Rasulullah ditambah dengan meninggalnya isteri tercinta Khadijah r.a. dan pamannya Abu Thalib yang selama ini mendukung dakwah beliau.
Lalu apakah yang bisa membuat Rasulullah dan para sahabat bertahan dari situasi sulit tersebut. Keimananlah yang menjadi perisai sekaligus senjata kaum muslimin untuk bertahan untuk menang. Keimanan melahirkan energi kesabaran luar biasa yang tak pernah kering dibawah teriknya tekanan embargo. Keimanan menolak kompromi kafir Quraisy untuk berbagi keyakinan, sehari mengakui kesesatan mereka sehari kemudian mengikuti keyakinan kita bukan bentuk toleransi yang Islam diajarkan. Tidak ada kesepakatan atas tawar-menawar keimanan, karena keimanan adalah keyakinan setiap individu yang harus dihormati dan merupakan hak asasi manusia. Tidak ada kompromi atas legalisasi kedzaliman, karena legalitas kedzaliman tidak akan pernah membawa kebaikan dan justru yang akan mencabut hak asasi sampai pada akar-akarnya. Al halalul bayyin wal haramu bayyin, antara kebenaran dan kedzaliman ada demarkasi yang jelas bahkan ketika ada sesuatu keraguan (syubhat) yang tampak berada di garis perbatasan kita dianjurkan untuk meninggalkannya. Tugas mulia menebarkan kebajikan, menyemai benih-benih kemanfaatan, mengawal perubahan di berbagai bidang kehidupan pijakannya adalah keimanan. Kebaikan yang dilakukan dengan keimanan akan menjadikan setiap intimidasi kedzaliman menjadi sumbu pembakar semangat perjuangan yang akan semakin memperkokoh bangunan kebaikan yang dipancangkan. Keimanan akan menjauhkan para penyeru kebaikan dari sikap kekhawatiran terhadap ancaman yang mengintainya. Tidak ada sesuatupun yang mereka takutkan selain Tuhannya. Kebaikan yang dilakukan dengan mudah tanpa tantangan yang merongrong seringkali membuat lengah dan kehilangan daya kreatifitasnya. Sementara kebaikan yang penuh intimidasi akan memperkuat eksistensi kebaikan tersebut mengahadapi terpaan ujian yang lebih besar lagi.