Tuesday, March 13, 2012

Kembali ke Desa

ketika anak muda kembali bersuara



Semilir angin kian menusuk tulang jelang separuh malam, melengkapi curahan hujan sepanjang siang tak menciutkan semangat beberapa anak muda membahas masa depan desa di tengah situasi politik yang menghangat jelang pemilihan kuwu (kepala desa).

Ini adalah malam kali kedua mereka mendatangi untuk berdiskusi, kali ini suasananya terasa lebih menukik karena yang hadir lebih banyak dan adapula perwakilan generasi paruh baya. mereka sangat antusias seolah tak mau melewatkan momen kepulanganku ke kampung yang sebetulnya buat urusan yang lain, dan antusiasme itu pulalah yang kembali membelalakan kantukku karena memang sebelumnya aku sudah sempat tertidur setelah aktifitas sepanjang siang yang cukup melelahkan.

Sedikit banyak saya mengetahui situasi apa yang tengah terjadi, ibarat kontes politik tingkat tinggi, konstelasi sudah mengerucut kearah kedua kubu calon yang muncul kepermukaan, sebut saja kubu kidul dan kaler. berbagai pergerakan penggalangan dukungan sudah sangat terasa dilakukan kedua kubu, seolah tak mau ketinggalan start, padahal pendaftaran saja belum dibuka.

Kampungku yang terletak di ujung barat desa, agak mengucil dari peta desa, namun berpenduduk padat sama dengan blok wetan di timur desa, sehingga magnet politiknya cukup berdaya tarik. calon boleh saja dari aliran utara atau selatan tapi penentu tetap dari timur dan barat.

Dalam sejarah sepertinya belum pernah ada kuwu berasal dari kampungku ditambah tempatnya agak mencil wajar saja kalau pembangunan di kampungku minim perhatian, yang ada adalah swadaya masyarakat dan inisatif beberapa tokoh untuk mencari bantuan pembanguan, inisiatif pemerintahan desa nyaris tidak ada. Aktivitas swadaya yang munculpun seolah tak mampu dikelola aparat desa yang seharusnya menjadi konduktor, bukan sebaliknya malah menjadi isolator. Nah, giliran mau pemilihan semuanya minta dukungan setelah itu habis manis sepah dibuang.

inilah yang setidaknya menjadi alasan munculnya sikap pragmatis di masyarakat, “ saha nu wani masihan leuwih eta nu bakal dipilih” (siapa yang berani memberi lebih itu yang dipilih), atau “iaraha deui maranehna masihan ka warga lamun teu ayuena” (kapan lagi mereka memberi kalau bukan sekarang), sehingga akhirnya kualitas kepemimpinan yang dihasilkan jauh pangang dari api alias jauh dari harapan.

itu semua menjadi kegundahan anak-anak muda itu, mereka menganggap saatnya sekarang memberi penyadaran terhadap masyarakat agar bisa melahirkan kepemimpinan yang mau, mampu bekerja untuk masyarakat bukan untuk dirinya sendiri. dari mereka sedikit banyak aku juga bisa menggali sejauhmana visi dan komitmen kepemimpinan calon yang ada. dari mereka muncul ide kontrak politik dengan tawaran maksimal yaitu akan dilengserkan apabila tidak mampu merealisasikan janji-janjinya.

bagiku ini menegaskan bahwa nurani dan idealisme ternyata masih tumbuh subur dikalangan anak muda. mereka mampu menunjukan bagaimana seharusnya berperan, ambil bagian dan peduli terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. mereka tidak mewakili stempel buruk generasi muda pembuat onar, cuek, masa boodoh, apatis, dan amoral dalam jerat narkoba, miras, pergaulan bebas, dll.

Demokrasi ala desa seringkali tak semanis yang didengungkan sebagian pengamat dan akademisi sebagai sebuah contoh sukses penerapan demokrasi pemilihan langsung yang sudah mengakar dan tubuh dimasyarakat sehingga layak diaplikasikan di setiap level kepemimpinan dewasa ini. Kalau diteliti lebih dalam demokrasi ala desa justeru seringkali melahirkan kepemimpinan jauh dari harapan, menimbulkan luka perpecahan ditengah keguyuban masyarakat desa, mengoyak tananan semangat gotong royong dan kekeluargaan, menyesatkan kearifan masyarakat dengan kompensasi materi sesaat, bahkan dibeberapa wilayah pernah menimbulkan kerusuhan masa yang melibatkan bentrokan fisik, pengrusakan rumah dan sarana publik, yang tak kalah mengerikan dijadikan ajang taruhan judi.

Saya berharap semangat anak muda ini bisa diterjemahkan kedalam aksi dan tindakan konkret untuk mengembalikan bahwa demokrasi ala desa ini bukan tujuan melainkan alat, menyadarkan masyarakat agar jangan sampai terjadi huru-hara, perpecahan dan masyarakat dapat berperan aktif serta menyalurkan suaranya sesuai hati nurani. Meminta komitmen tertulis atau bahasa kerennya kontrak politik kepada setiap calon. Rencana aksi itu saya usulkan sebagai berikut :

Pra pilkuwu:
- Deklarasi pemilihan damai oleh semua calon, panitia 11, aparat desa, alim ulama, tokoh masyarakat, kepolisian, dll
- Deklarasi pemilihan LUBER JURDIL, tolak praktek politik uang dalam pemilihan

Saat pilkuwu :
- Melaksananakan pemaparan visi, misi, program serta dialog serap aspirasi publik antara para calon dengan masyarakat ke setiap dusun
- Penandatangan kontrak politik berupa komitmen anti KKN, siap menjadi penggerak pembangunan, siap memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat, menghidupkan lingkungan agamis dan membela kepentingan fakir miskin, bersedia mundur atau dimundurkan apabila tidak mampu merealisasikan.

Setelah pilkuwu :
- Rekonsiliasi akbar antar calon bersama masyarakat untuk merekatkan kembali tali silaturahim pasca pemilihan

terakhir, selamat mejanlankan pesta demokrasi ala desa yang bermartabat semoga lahir pemimpin sidiq, amanah, tabligh, fathonah

wallahua’lam

cikiong, 11/03/2012

No comments: